Halaman

Sabtu, 02 Februari 2013

Studi: Bisa Beli Barang yang Diinginkan Belum Tentu Bikin Bahagia

 
Jakarta, Tampaknya ungkapan kebahagiaan itu tak bisa dibeli dengan uang memang benar adanya. Bahkan menurut sebuah studi baru, hal ini juga berlaku bagi orang yang paling materialistis sekalipun.

Secara rinci, peneliti juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang materialistis merasa paling bahagia hanya tepat sebelum membeli barang yang diinginkannya. Tapi ketika barang itu sudah ada di tangannya, kebahagiaan itu seketika akan hilang.

Kesimpulan ini diperoleh setelah peneliti Marsha Richins, profesor pemasaran dari University of Missouri di Columbia mensurvei 329 mahasiswa. Pada survei pertama, responden ditanya apa barang yang ingin mereka beli dalam satu semester ini dan survei berikutnya menanyai responden tentang perasaan mereka setelah berhasil membeli barang yang mereka inginkan.

Bahkan Richins mengelompokkan responden ke dalam dua grup besar; materialisme 'tinggi' atau 'rendah' berdasarkan seberapa besar responden menilai barang-barang yang mereka miliki.

"Ternyata responden yang materialismenya tinggi jauh lebih bahagia dan bersemangat ketimbang rekan-rekannya tepat sebelum mereka membeli barang yang diinginkan. Kendati begitu, perasaan itu akan berubah begitu cepat pada minggu-minggu setelahnya," tandas Richins seperti dikutip dari health.com, Sabtu (2/2/2013).

Dalam survei terpisah yang melibatkan 180 konsumen AS, Richins juga menemukan sejumlah petunjuk tentang alasan mengapa orang-orang yang materealiastis tampak begitu bersemangat sebelum membeli barang yang diidamkan: mereka cenderung percaya bahwa barang-barang seperti mobil, TV layar datar atau laptop akan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.

Sebaliknya orang yang tingkat materealismenya rendah tak begitu percaya barang-barang itu akan memberikan efek yang signifikan bagi hidupnya, meskipun mungkin mereka sangat ingin memiliki mobil atau TV.

Senada dengan studi ini, seorang asisten profesor pemasaran dari NYU Stern School of Business, Tom Meyvis juga menemukan bahwa setiap orang rata-rata berharap terlalu banyak pada barang-barang yang mereka beli.

Bahkan itu tidak hanya berlaku bagi mobil dan barang-barang elektronik saja. Orang-orang juga berharap terlalu banyak pada hal-hal seperti anak anjing yang mereka adopsi dan rencana atau tempat berlibur mereka, meskipun sebenarnya liburan itu tak berjalan sesuai yang mereka inginkan, catat Meyvis. Dengan kata lain orang-orang cenderung berharap terlalu tinggi bahwa kejadian atau pengalaman yang mereka alami akan mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam jangka panjang.

"Masalahnya, orang-orang ini biasanya tak mau belajar atau mengambil hikmah dari kondisi semacam ini. Jika Anda percaya bahwa sesuatu (barang) atau pengalaman tertentu akan membuat Anda lebih bahagia dalam hidup maka kepercayaan itu akan terus melekat pada diri Anda," tandas Meyvis.

Dari situ Meyvis menyarankan agar ketika akan membeli sesuatu, seseorang diminta untuk mempertimbangkannya matang-matang, terutama untuk barang-barang yang besar atau mahal. Jadi ketika Anda menginginkan sesuatu hanya karena Anda merasa itu akan membuat Anda lebih bahagia maka cobalah ingat kapan terakhir kali Anda mempercayai hal itu dan bagaimana hasilnya.

"Bisa jadi upaya itu akan membendung Anda membeli barang-barang tertentu yang sebenarnya tak dibutuhkan," tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar